CANDI BRAHU
Banyak sekali peninggalan - peninggalan zaman kerajaan majapahit yang sangat disayangkan untuk tidak dikunjungi di Jawa Timur,Contohnya di Trowulan - Mojokerto.Terdapat banyak peninggalan - peninggalan yang indah sekali seperti Candi Brahu terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, provinsi Jawa Timur. Salah satu tempat wisata di Mojokerto
ini termasuk dalam rangkaian situs peninggalan Kerajaan Majapahit
selain Museum Mojokerto, Kolam Segaran, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu,
dan lain-lain. Istimewanya, bangunan Candi Brahu di Bejijong ini
termasuk yang paling utuh dibanding candi-candi lain hasil kebudayaan
Majapahit.
Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan berketinggian 20 meter.Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan.
Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995.
Nama candi ini, yaitu 'brahu', diduga berasal dari kata wanaru atau warahu. Nama ini didapat dari sebutan sebuah bangunan suci yang disebut dalam Prasasti Alasantan. Prasasti tersebut ditemukan tak jauh dari Candi Brahu.
Candi Brahu dibangun dengan batu bata merah, menghadap ke arah barat dan berukuran panjang sekitar 22,5 m, dengan lebar 18 m, dan berketinggian 20 meter.Candi Brahu dibangun dengan gaya dan kultur Budha. Diperkirakan, candi ini didirikan pada abad ke-15 Masehi meskipun masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa candi ini berusia jauh lebih tua daripada candi-candi lain di sekitar Trowulan.
Dalam prasasti yang ditulis Mpu Sendok bertanggal 9 September 939 (861 Saka), Candi Brahu disebut merupakan tempat pembakaran (krematorium) jenazah raja-raja. Akan tetapi, dalam penelitian tak ada satu pakar pun yang berhasil menemukan bekas abu mayat dalam bilik candi. Hal ini diverifikasi setelah dilakukan pemugaran candi pada tahun 1990 hingga 1995.
CANDI TIKUS
Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985. Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masanya.
CANDI BAJANG RATU
Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheidkunding Verslag (OV) tahun 1915. Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit, karena kata 'bajang' berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.
Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan. Relief yang memuat cerita peruwatan ditemukan juga, antara lain, di Candi Surawana. Candi Surawana diduga dibangun sehubungan dengan wafatnya Bhre Wengker (akhir abad ke-7).
Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328 ('sira ta dhinar meng Kapopongan, bhiseka ring csrenggapura pratista ring Antarawulan'). Disebutkan juga bahwa Raja Jayanegara, yang kembali ke alam Wisnu (wafat) pada tahun 1328, dibuatkan tempat sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila. Menurut Krom, Csrenggapura dalam Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam Negarakertagama, sehingga dapat disimpulkan bahwa 'dharma' (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini disebut Trowulan. Arca perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Hanya lokasi Shila Petak (Selapethak) yang belum diketahui.
Di samping pendapat di atas, ada pendapat lain mengenai fungsi Candi Bajangratu. Mengingat bentuknya yang merupakan gapura paduraksa atau gapura beratap dengan tangga naik dan turun, Bajangratu diduga merupakan salah satu pintu gerbang Keraton Majapahit. Perkiraan ini didukung oleh letaknya yang tidak jauh dari lokasi bekas istana Majapahit.
Bajangratu diperkirakan didirikan antara abad ke-13 dan ke-14, mengingat: 1) Prakiraan fungsinya sebagai candi peruwatan Prabu Jayanegara yang wafat tahun 1328 M ; 2) Bentuk gapura yang mirip dengan candi berangka tahun di Panataran Blitar; 3) Relief penghias bingkai pintu yang mirip dengan relief Ramayana di Candi Panataran; 4) Bentuk relief naga yang menunjukkan pengaruh Dinasti Yuan. J.L.A. Brandes memperkirakan bahwa Bajangratu dibangun pada masa yang sama dengan pembangunan Candi Jago di Tumpang, Malang, ditilik dari adanya relief singa yang mengapit sisi kiri dan kanan kepala Kala, yang juga terdapat di Candi Jago. Candi Jago sendiri diperkirakan dibangun pada abad ke-13.
Candi Bajangratu menempati area
yang cukup luas. Seluruh bangunan candi dibuat dari batu bata merah,
kecuali anak tangga dan bagian dalam atapnya. Sehubungan dengan
bentuknya yang merupakan gapura beratap, Candi Bajangratu menghadap ke
dua arah, yaitu timur-barat. Ketinggian candi sampai pada puncak atap
adalah 16,1 m dan panjangnya 6,74 m. Gapura Bajangratu mempunyai sayap
di sisi kanan dan kiri. Pada masing-masing sisi yang mengapit anak
tangga terdapat hiasan singa dan binatang bertelinga panjang. Pada
dinding kaki candi, mengapit tangga, terdapat relief Sri Tanjung,
sedangkan di kiri dan kanan dinding bagian depan, mengapit pintu,
terdapat relief Ramayana. Pintu candi dihiasi dengan relief kepala kala
yang terletak tepat di atas ambangnya. Di kaki ambang pintu masih
terlihat lubang bekas tempat menancapkan kusen. Mungkin dahulu pintu
tersebut dilengkapi dengan daun pintu.
Bagian dalam candi membentuk lorong yang membujur
dari barat ke timur. Anak tangga dan lantai lorong terbuat dari batu.
Bagian dalam atap candi juga terbuat dari balok batu yang disusun
membujur utara-selatan, membentuk ruang yang menyempit di bagian atas. Candi Bajangratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan. Perbaikan yang telah dilakukan mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Beberapa batu yang hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.